Ada pepatah mengatakan, "Hidup itu bagaikan roda yang sedang berputar, kadang di atas kadang juga di bawah,". Nah, apa yang terjadi pada Jose Mourinho saat ini adalah sama seperti roda yang sedang berada di bawah tersebut.
Ya, roda Mourinho selama ini selalu berada di atas, tetapi tiba-tiba berputar dan kembali ke bawah. Mourinho yang mungkin saja belum siap dengan keadaan seperti ini menjadi diam seribu bahasa.
Berbagai cacian, kritik hingga desakkan untuk mundur dari kursi manajer kini sedang dihadapi oleh The Happy One. Kabar menyebutkan bahwa pria asal Portugal itu akan dipecat tepat pada hari Minggu ini.
Tak adil rasanya, mengingat baru semusim Mourinho mengalami krisis seperti ini. Tapi, apakah ia pantas mendapatkan perlakuan di luar batas seperti sekarang?
Kita boleh menyebut Mourinho adalah seorang yang congkak atau sombong, terserah. Tapi, memperlakukan seseorang dengan cara terus meneror lewat berbagai kritikan rasanya tak pantas jika memang kita semua bukan siapa-siapa saat dibandingkan dengannya.
Terlepas dari hasil buruk musim ini, Mourinho adalah seorang pelatih jenius yang bisa membawa sebuah tim yang kurang begitu diperhitungkan menjadi superior. Itu sudah dan jelas-jelas dibuktikan oleh eks asisten pelatih Bobby Robson pada musim 2003/2004 silam.
Siapa yang mengenal FC Porto -di Indonesia khususnya- sebelum mereka sukses menjadi juara Liga Champions tepat semusim sebelumLiverpool merengkuh dengan cara yang terbilang tak masuk akal? Saya berani bertaruh, hampir tidak ada yang peduli dengan klub berjulukDragons saat itu.
Meski telah menjadi raksasa di Portugal dan sukses meraih gelar di ajang Liga Europa pada musim sebelumnya, mereka saat itu bukanlah siapa-siapa di kompetisi ter-elit Eropa.
Akan tetapi, dengan deretan pemain seperti Ricaldo Carvalho, Paulo Fereira hingga Deco, Mourinho sukses menjawab keraguan tersebut dengan sebuah gelar dan membungkam krtitikus yang hanya sanggup berbicara tanpa melakukan praktik. Di partai final, AS Monaco sebagai tembok terakhir bisa dihancurkan dengan skor telak 3-0.
Tidak lama setelah momen ajaib tersebut, klub asal pusat kota London yang baru saja meminta tolong taipan asal Rusia untuk menyelamatkan tim dari hutang sebanyak 80 juta Pounds (Baca: Chelsea) tertarik untuk menggunakan jasanya. Sontak, nama Mourinho memimpin daftar sebagai manajer dengan gaji termahal di Inggris. Semua pihak pun bertanya, "Siapa orang ini?"
Mourinho yang saat itu adalah manajer yang baru saja meraih gelar Eropa, lantas mengatakan jika dirinya adalah "The Special One".
"Tolong jangan panggil saya arogan. Tapi, saya adalah juara Eropa dan mungkin saya adalah 'The Special One'." - Mourinho, Juni 2004.
Praktis, setelah komentar fenomenalnya tersebut kita semua tahu apa saja yang telah dipersembahkan oleh Mourinho kepada Chelsea hingga tahun 2007, mari hitung bersama-sama: 2 Premier League, 1 Piala FA, 2 Piala Liga dan 1 Community Shield. Satu hal lagi yang membuatnya amat dicintai publik London adalah sukses membawa Chelsea sebagai tim yang tidak pernah menelan kekalahan pada pertandingan kandang.
Tahun 2007 merupakan tahun terakhir di periode pertama bersama klub yang kini sudah menjadi raksasa Inggris tersebut. Ia pergi setelah mengadakan pertemuan dengan para petinggi klub termasuk Roman Abramovich. Kesepakatan bersama akhirnya tercapai dan ia pun pergi.
Sempat merasakan berbagai atmosfer dan meraih sejumlah gelar di luar Inggris (termasuk treble winners bersama Inter Milan di Italia), Mourinho memutuskan untuk merajut kembali kisah cinta lama dengan Inggris dan seisi kota London. Di periode keduanya, dia berhasil membawa pulang dua gelar... ingat, dua gelar sekaligus! Premier League dan Piala Liga ke hadapan publik Stamford Bridge.
Nah, apa yang sedang terjadi pada Mourinho musim ini adalah hal wajar dalam sepakbola. Tak selamanya sebuah tim atau seorang manajer selalu berada di atas, bukan? Bahkan, seorang Frank Rijkaard saja pernah harus terseok-seok lebih dulu sebelum di akhir musim sukses mengantarkan Barcelona duduk di peringkat kedua pada musim pertamanya (2003-04).
Untuk urusan gelar liga (domestik), Mourinho rasanya sudah bisa sedikit disejajarkan dengan sosok Sir Alex Ferguson (silahkan saja tak sependapat). Lihat bagaimana keduanya bisa membuat sebuah tim yang tengah dalam kondisi kurang meyakinkan menjadi sebuah tim yang sukses mendominasi liga dalam beberapa tahun. Alasan uang berlimpah yang dimiliki Chelsea rasanya kurang tepat (kurang tepat bukan berarti sepenuhnya tidak benar), karena sebelumnya pria 52 tahun tersebut sudah mampu mempersembahkan sejumlah gelar bagi Porto.
Yakinlah, seorang Mourinho bisa dengan sangat tenang menghadapi tekanan yang ia alami. Dia juga sudah bagus dengan memutuskan untuk lebih memilih menyaksikan pertandingan Rugby ketimbang harus mendengar ocehan sekitar.
Dan kemenangan 2-1 atas Dynamo Kiev di ajang Liga Champions dini hari tadi menjelaskan kepada semua orang bahwa Jose Mourinho belum pantas dikatakan habis dan dipojokkan seperti saat ini.
Ya, roda Mourinho selama ini selalu berada di atas, tetapi tiba-tiba berputar dan kembali ke bawah. Mourinho yang mungkin saja belum siap dengan keadaan seperti ini menjadi diam seribu bahasa.
Berbagai cacian, kritik hingga desakkan untuk mundur dari kursi manajer kini sedang dihadapi oleh The Happy One. Kabar menyebutkan bahwa pria asal Portugal itu akan dipecat tepat pada hari Minggu ini.
Tak adil rasanya, mengingat baru semusim Mourinho mengalami krisis seperti ini. Tapi, apakah ia pantas mendapatkan perlakuan di luar batas seperti sekarang?
Kita boleh menyebut Mourinho adalah seorang yang congkak atau sombong, terserah. Tapi, memperlakukan seseorang dengan cara terus meneror lewat berbagai kritikan rasanya tak pantas jika memang kita semua bukan siapa-siapa saat dibandingkan dengannya.
Terlepas dari hasil buruk musim ini, Mourinho adalah seorang pelatih jenius yang bisa membawa sebuah tim yang kurang begitu diperhitungkan menjadi superior. Itu sudah dan jelas-jelas dibuktikan oleh eks asisten pelatih Bobby Robson pada musim 2003/2004 silam.
Siapa yang mengenal FC Porto -di Indonesia khususnya- sebelum mereka sukses menjadi juara Liga Champions tepat semusim sebelumLiverpool merengkuh dengan cara yang terbilang tak masuk akal? Saya berani bertaruh, hampir tidak ada yang peduli dengan klub berjulukDragons saat itu.
Meski telah menjadi raksasa di Portugal dan sukses meraih gelar di ajang Liga Europa pada musim sebelumnya, mereka saat itu bukanlah siapa-siapa di kompetisi ter-elit Eropa.
Akan tetapi, dengan deretan pemain seperti Ricaldo Carvalho, Paulo Fereira hingga Deco, Mourinho sukses menjawab keraguan tersebut dengan sebuah gelar dan membungkam krtitikus yang hanya sanggup berbicara tanpa melakukan praktik. Di partai final, AS Monaco sebagai tembok terakhir bisa dihancurkan dengan skor telak 3-0.
Tidak lama setelah momen ajaib tersebut, klub asal pusat kota London yang baru saja meminta tolong taipan asal Rusia untuk menyelamatkan tim dari hutang sebanyak 80 juta Pounds (Baca: Chelsea) tertarik untuk menggunakan jasanya. Sontak, nama Mourinho memimpin daftar sebagai manajer dengan gaji termahal di Inggris. Semua pihak pun bertanya, "Siapa orang ini?"
Mourinho yang saat itu adalah manajer yang baru saja meraih gelar Eropa, lantas mengatakan jika dirinya adalah "The Special One".
"Tolong jangan panggil saya arogan. Tapi, saya adalah juara Eropa dan mungkin saya adalah 'The Special One'." - Mourinho, Juni 2004.
Praktis, setelah komentar fenomenalnya tersebut kita semua tahu apa saja yang telah dipersembahkan oleh Mourinho kepada Chelsea hingga tahun 2007, mari hitung bersama-sama: 2 Premier League, 1 Piala FA, 2 Piala Liga dan 1 Community Shield. Satu hal lagi yang membuatnya amat dicintai publik London adalah sukses membawa Chelsea sebagai tim yang tidak pernah menelan kekalahan pada pertandingan kandang.
Tahun 2007 merupakan tahun terakhir di periode pertama bersama klub yang kini sudah menjadi raksasa Inggris tersebut. Ia pergi setelah mengadakan pertemuan dengan para petinggi klub termasuk Roman Abramovich. Kesepakatan bersama akhirnya tercapai dan ia pun pergi.
Sempat merasakan berbagai atmosfer dan meraih sejumlah gelar di luar Inggris (termasuk treble winners bersama Inter Milan di Italia), Mourinho memutuskan untuk merajut kembali kisah cinta lama dengan Inggris dan seisi kota London. Di periode keduanya, dia berhasil membawa pulang dua gelar... ingat, dua gelar sekaligus! Premier League dan Piala Liga ke hadapan publik Stamford Bridge.
Nah, apa yang sedang terjadi pada Mourinho musim ini adalah hal wajar dalam sepakbola. Tak selamanya sebuah tim atau seorang manajer selalu berada di atas, bukan? Bahkan, seorang Frank Rijkaard saja pernah harus terseok-seok lebih dulu sebelum di akhir musim sukses mengantarkan Barcelona duduk di peringkat kedua pada musim pertamanya (2003-04).
Untuk urusan gelar liga (domestik), Mourinho rasanya sudah bisa sedikit disejajarkan dengan sosok Sir Alex Ferguson (silahkan saja tak sependapat). Lihat bagaimana keduanya bisa membuat sebuah tim yang tengah dalam kondisi kurang meyakinkan menjadi sebuah tim yang sukses mendominasi liga dalam beberapa tahun. Alasan uang berlimpah yang dimiliki Chelsea rasanya kurang tepat (kurang tepat bukan berarti sepenuhnya tidak benar), karena sebelumnya pria 52 tahun tersebut sudah mampu mempersembahkan sejumlah gelar bagi Porto.
Yakinlah, seorang Mourinho bisa dengan sangat tenang menghadapi tekanan yang ia alami. Dia juga sudah bagus dengan memutuskan untuk lebih memilih menyaksikan pertandingan Rugby ketimbang harus mendengar ocehan sekitar.
Dan kemenangan 2-1 atas Dynamo Kiev di ajang Liga Champions dini hari tadi menjelaskan kepada semua orang bahwa Jose Mourinho belum pantas dikatakan habis dan dipojokkan seperti saat ini.
0 comments:
Post a Comment